Sabtu, 18 Juni 2011

KETAHANAN PANGAN NASIONAL


Krisis perekonomian yang terjadi saat ini tidak hanya di Indonesia. Di seluruh belahan bumi, banyak negara yang sedang mengalami kesulitan untuk memenuhi kehidupan rakyatnya. Adanya krisis global saat ini juga semakin membuat krisis bertambah sulit. Banyak kalangan yang memperkirakan kalau krisis perekonomian yang semakin kompleks ini bisa mengarah kepada krisis pangan. Kelaparan akan menjadi ancaman yang akan menyusul kemiskinan massal yang terjadi saat ini. Sebelum krisis pangan terjadi, sejak jauh- jauh hari, sudah banyak pemikir maupun praktisi yang mati-matian menggodok kebijakan kebijakan maupun sekedar sumbangan pemikiran untuk mengantisipasinya. Semuanya itu berdiri di atas satu sikap, bernama “Ketahanan Pangan”. Di dalam hal ini perlu sekali pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang baik untuk mengatasi krisis pangan yang akan terjadi.
Berbicara tentang kebijakan pemerintah, sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi bahaya krisis pangan. Yang paling utama adalah dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk semakin memantapkan ketahanan pangan di bumi Indonesia.

Latar Belakang Masalah
Di negara kita, kesulitan dalam penyeimbangan neraca pangan sudah dialami sebelum awal krisis moneter terjadi pada pertengahan tahun 1997. Bahkan,  pemenuhan kebutuhan beras yang pernah diatasi secara swasembada pada tahun 1986, sampai saat sekarang ini ternyata tidak dapat dipertahankan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 1999[1] kita  telah mengimpor beras sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun 1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton pada tahun 1999. Di awal tahun 2000 kita bahkan dibanjiri dengan beras impor yang diberitakan ilegal, sedangkan di awal tahun 2006 kita diramaikan dengan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras, yang dianggap tidak berpihak kepada petani meskipun hal itu bukan merupakan issue baru dan disadari pula bahwa petani kita pun merupakan konsumen beras. Bahkan, pada tahun ini kita dirisaukan dengan impor benih padi yang konon tidak berjalan mulus pula sampai ke tangan petani, padahal hasilnya diharapkan dapat mendongkrak produksi beras.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan.  Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional.  Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a.   Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap pendidikan sangat minim.
b.   Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.
d.   Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik . petani di indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagaian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih.tentu saja dari hasil aproduksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai . pertanian di indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat terbatas
f.   Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah .
g.    Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
Tanpa menyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pernhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud.

Analisis Masalah
Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu.  Masyarakat yang terlibat dalam pembangunan ketahanan pangan meliputi produsen, pengusaha, konsumen, aparatur pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Mengingat luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka kerja sama yang sinergis dan terarah antar institusi dan komponen masyarakat sangat diperlukan.  Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui suatu kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait (stakeholders), khususnya masyarakat produsen (petani), pengolah, pemasar dan konsumen pangan dan pemerintah.
Pengadaan pangan bagi bangsa Indonesia hingga saat ini memang masih mengkhawatirkan. Padahal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  telah memberikan arahan bagaimana kita harus mencapai ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mengatakan,bahwa Ketahanan pangan diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah dan dikembangkan mulai tingkat rumah tangga. Apabila setiap rumah tangga Indonesia sudah mencapai tahapan ketahanan pangan, maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah dan nasional akan tercapai. Dengan demikian, arah pengembangan ketahanan pangan berawal dari rumah tangga, masyarakat, daerah dan kemandirian nasional bukan mengikuti proses sebaliknya.
Karena fokusnya pada rumah tangga, maka yang menjadi kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar dapat secara bersaing memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Proses pemberdayaan tersebut tidak lagi menganut pola serapan, tetapi didesentralisasikan sesuai potensi dan keragaman sumberdaya wilayah. Demikian pula kesempatan berusaha tidak harus selalu pada usahatani padi (karena dengan luas lahan sempit tidak mungkin dapat meningkatkan kesejahteraannya), tetapi juga pada usaha tani non padi perlu dikembangkan. Dalam kaitannya dengan itu, upaya peningkatan ketahanan pangan tidak perlu terfokus pada pengembangan pertanian (dalam arti primer), tetapi diarahkan pada sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi.
Dengan adanya peningkatan pendapatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan meningkat.  Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih (freedom to choose) pangan yang beragam untuk memenuhi kecukupan gizinya. Karena itu upaya pemantapan ketahanan pangan tidak dilakukan dengan menyediakan pangan murah, tetapi dengan meningkatkan daya beli.
Dalam konteks inilah maka membangun kemandirian pangan pada tingkat rumah tangga ditempuh dengan membangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri ataupun dari pasar) yang cukup, bergizi, aman dan halal, untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Dengan demikian menghasilkan sendiri kemampuan memperoleh peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, maka kebebasan mengatur perdagangan pangan di daerah tidak perlu dibatasi, tetapi didorong dan diarahkan agar memberi manfaat yang optimal bagi konsumen dan produsen pangan di daerah yang bersngkutan sehingga kemandirian pangan akan dapat diwujudkan.

Rekomendasi Kebijakan
Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal itu semua ada Berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.  Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti.  Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti.  Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian.  Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahtraan petani.
Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pebngadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalitasasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis.
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di pedesaan.
Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.
Di sisi lain berdasarkan pendekatan sistem pangan, strategi pencapaian ketahanan pangan  juga dapat ditempuh melalui berbagai kebijakan di setiap subsistemnya, di antaranya sebagai berikut:

Subsistem konsumsi pangan
Di subsistem konsumsi (masyarakat konsumen) pangan, kebijakan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat ditempuh dengan strategi penciptaan lapang kerja baru dan, khususnya oleh pemerintahan yang sekarang,  pelaksanaan program subsidi langsung tunai (SLT) bagi rakyat yang miskin; kebijakan diversifikasi pangan dan perbaikan kebiasaan makan ditempuh melalui strategi pencarian komoditi pangan alternatif; kebijakan perbaikan/promosi kesehatan.ditempuh dengan strategi perbaikan gizi; kebijakan mutu pangan ditempuh melalui strategi penyelenggaraan sistem jaminan mutu pangan. Khusus mengenai strategi penciptaan lapangan kerja baru, kebijakan pemerintah dalam  peningkatan keterampilan masyarakat untuk masuk di pasar kerja ditempuh dengan strategi pembangunan diklat. Namun, kebijakan makro ekonomi perlu mendukung hal ini, misalnya berupa kemudahan akses permodalan yang terbuka bagi para usahawan baru terhadap dana kredit dari bank. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa kebijakan Bank Indonesia untuk mencapai hal ini tidak selalu bersesuaian dengan kebijakan bank-bank umum di aspek yang sama. Dalam konteks penyediaan lapangan kerja, pemerintah kita juga memberikan kesempatan kepada kalangan generasi mudanya untuk bekerja di luar negeri.

Subsistem produksi pangan
Di subsistem produksi pangan stratum on farm, kebijakan intensifikasi pertanian yang diutamakan untuk produksi padi masih perlu dipertahankan karena status padi sebagai komoditi yang berimplikasi politis, yakni melalui strategi teknologi,  ekonomi, rekayasa  sosial,   dan nilai tambah yang diterapkan dalam praktek produksi. Kebijakan ekstensifikasi pertanian ditempuh melalui strategi penetapan wilayah pengembangan dan pewilayahan pertanian. Dengan strategi ini dilakukan pembangunan lahan-lahan pertanian baru untuk produksi pangan, baik berupa  lahan kering maupun lahan basah (sawah) yang dikaitkan dengan kegiatan transmigrasi. Dalam subsektor hortikultura, ditempuh strategi pembangunan, pemantapan, dan pengembangan  sentra produksi buah-buahan unggulan yang dikaitkan dengan pembangunan kebun induknya. Kebijakan rehabilitasi pertanian ditempuh  sejalan dengan strategi  penetapan komoditi prioritas, yakni rehabilitasi jaringan irigasi sebagai bagian dari strategi peningkatan produksi padi; rehabilitasi kebun bibit sebagai bagian dari strategi pengembangan buah-buahan prospektif. Kebijakan diversifikasi pertanian dilaksanakan melalui strategi diversifikasi horizontal dengan rekayasa sistem pertanian terpadu yang melibatkan usaha tani tanaman, ternak, dan atau ikan secara komplementer dan sinergis, sesuai dengan kondisi agroklimat lahannya.
Dalam stratum off-farm, kebijakan di subsistem produksi ditempuh melalui strategi pengembangan industri pertanian (agroindustri), khususnya  teknologi pengolahan pangan yang dapat menghasilkan beragam produk yang dapat mendorong konsumen melaksanakan diversifikasi konsumsi pangan dan berdaya saing kuat di pasar global. Pengembangan industri pengolahan pangan tersebut juga akan menciptakan diversifikasi pertanian secara vertikal yang mampu memberikan nilai tambah bagi komoditi pertanian yang diusahakan.

Subsistem peredaran pangan
Di subsistem peredaran (pengadaan dan distribusi) pangan,  kebijakan pengelolaan cadangan pangan dan stabilisasi harga pangan dijalankan   khususnya untuk komoditi beras. Untuk komoditi ini, kebijakan pengelolaan cadangan pangan ditempuh dengan penerapan strategi pengendalian ekspor dan impor dan penetapan lama persediaan beras cadangan yang aman untuk ketahanan pangan. Kebijakan stabilisasi harga beras ditempuh, jika perlu, dengan strategi penetapan harga dasar gabah dan harga tertinggi dan intervensi pasar beras dengan mempertimbangkan harga beras di pasaran internasional. Kebijakan pengembangan pasar komoditi ditempuh dengan melaksanakan strategi penciptaan iklim usaha agribisnis yang kompetitif, dengan pengaturan tata niaganya yang tidak menghambat mekanisme pasar sempurna. Dalam konteks pencapaian mekanisme pasar sempurna, perlu pertimbangan yang memadai agar strategi untuk stabilisasi harga beras tidak mengganggu pengaturan tata niaganya tersebut.

Kesimpulan
Sistem pangan nasional harus dibangun menuju ketahanan pangan nasional yang berbasis pada penyediaan pangan di tingkat individu. Paradigma baru dalam pembangunan sistem pangan nasional ini  akan menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, lokal, regional, dan nasional. Meskipun demikian, mengingat demikian kompleks permasalahan yang tercakup, ketahanan pangan di kelima jenjang itu hendaknya dibangun secara bersamaan.
Ketahanan pangan nasional bermakna pengadaan pangan nasional (yakni penyediaan pangan secara nasional), dan distribusi pangan nasional (yakni penyediaan pangan di setiap  individu).  Kedua makna ini menuntut adanya kebijakan pangan secara nasional yang dipegang wewenangnya oleh pemerintah pusat (yang berfungsi steering) dan kebijakan pangan secara regional, lokal, rumah tangga, dan individu yang dipegang wewenangnya oleh pemerintah daerah otonom (kabupaten/kota, yang berfungsi rowing).
Fungsi steering oleh pemerintah pusat berupa arah pembangunan ketahanan pangan sebagai komponen yang penting bagi kesejahteraan dan keutuhan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, kelak diperlukan adanya evaluasi, apakah lembaga atau lembaga-lembaga tinggi negara yang kini ada telah cukup berhasil dengan efisien memantapkan ketahanan pangan, sebagaimana yang diharapkan, misalnya, oleh salah satu peran sektor pertaniannya dalam rangka revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Fungsi rowing oleh pemerintah daerah otonom berupa keberlanjutan koordinasi antarlembaga terkait yang mendukung ketercapaian ketahanan pangan bagi setiap individu bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah otonom tersebut. Dalam konteks ini, perlu dievaluasi pula, seberapa besar kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong dan memfasilitasi sektor swasta untuk berperan dalam pembangunan ketahanan pangan bagi sesama bangsanya.
KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Krisis perekonomian yang terjadi saat ini tidak hanya di Indonesia. Di seluruh belahan bumi, banyak negara yang sedang mengalami kesulitan untuk memenuhi kehidupan rakyatnya. Adanya krisis global saat ini juga semakin membuat krisis bertambah sulit. Banyak kalangan yang memperkirakan kalau krisis perekonomian yang semakin kompleks ini bisa mengarah kepada krisis pangan. Kelaparan akan menjadi ancaman yang akan menyusul kemiskinan massal yang terjadi saat ini. Sebelum krisis pangan terjadi, sejak jauh- jauh hari, sudah banyak pemikir maupun praktisi yang mati-matian menggodok kebijakan kebijakan maupun sekedar sumbangan pemikiran untuk mengantisipasinya. Semuanya itu berdiri di atas satu sikap, bernama “Ketahanan Pangan”. Di dalam hal ini perlu sekali pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang baik untuk mengatasi krisis pangan yang akan terjadi.
Berbicara tentang kebijakan pemerintah, sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi bahaya krisis pangan. Yang paling utama adalah dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk semakin memantapkan ketahanan pangan di bumi Indonesia.

Latar Belakang Masalah
Di negara kita, kesulitan dalam penyeimbangan neraca pangan sudah dialami sebelum awal krisis moneter terjadi pada pertengahan tahun 1997. Bahkan,  pemenuhan kebutuhan beras yang pernah diatasi secara swasembada pada tahun 1986, sampai saat sekarang ini ternyata tidak dapat dipertahankan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 1999[1] kita  telah mengimpor beras sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun 1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton pada tahun 1999. Di awal tahun 2000 kita bahkan dibanjiri dengan beras impor yang diberitakan ilegal, sedangkan di awal tahun 2006 kita diramaikan dengan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras, yang dianggap tidak berpihak kepada petani meskipun hal itu bukan merupakan issue baru dan disadari pula bahwa petani kita pun merupakan konsumen beras. Bahkan, pada tahun ini kita dirisaukan dengan impor benih padi yang konon tidak berjalan mulus pula sampai ke tangan petani, padahal hasilnya diharapkan dapat mendongkrak produksi beras.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan.  Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional.  Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a.   Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap pendidikan sangat minim.
b.   Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.
d.   Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik . petani di indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagaian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih.tentu saja dari hasil aproduksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai . pertanian di indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat terbatas
f.   Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah .
g.    Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
Tanpa menyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pernhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud.

Analisis Masalah
Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu.  Masyarakat yang terlibat dalam pembangunan ketahanan pangan meliputi produsen, pengusaha, konsumen, aparatur pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Mengingat luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka kerja sama yang sinergis dan terarah antar institusi dan komponen masyarakat sangat diperlukan.  Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui suatu kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait (stakeholders), khususnya masyarakat produsen (petani), pengolah, pemasar dan konsumen pangan dan pemerintah.
Pengadaan pangan bagi bangsa Indonesia hingga saat ini memang masih mengkhawatirkan. Padahal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  telah memberikan arahan bagaimana kita harus mencapai ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mengatakan,bahwa Ketahanan pangan diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah dan dikembangkan mulai tingkat rumah tangga. Apabila setiap rumah tangga Indonesia sudah mencapai tahapan ketahanan pangan, maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah dan nasional akan tercapai. Dengan demikian, arah pengembangan ketahanan pangan berawal dari rumah tangga, masyarakat, daerah dan kemandirian nasional bukan mengikuti proses sebaliknya.
Karena fokusnya pada rumah tangga, maka yang menjadi kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar dapat secara bersaing memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Proses pemberdayaan tersebut tidak lagi menganut pola serapan, tetapi didesentralisasikan sesuai potensi dan keragaman sumberdaya wilayah. Demikian pula kesempatan berusaha tidak harus selalu pada usahatani padi (karena dengan luas lahan sempit tidak mungkin dapat meningkatkan kesejahteraannya), tetapi juga pada usaha tani non padi perlu dikembangkan. Dalam kaitannya dengan itu, upaya peningkatan ketahanan pangan tidak perlu terfokus pada pengembangan pertanian (dalam arti primer), tetapi diarahkan pada sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi.
Dengan adanya peningkatan pendapatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan meningkat.  Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih (freedom to choose) pangan yang beragam untuk memenuhi kecukupan gizinya. Karena itu upaya pemantapan ketahanan pangan tidak dilakukan dengan menyediakan pangan murah, tetapi dengan meningkatkan daya beli.
Dalam konteks inilah maka membangun kemandirian pangan pada tingkat rumah tangga ditempuh dengan membangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri ataupun dari pasar) yang cukup, bergizi, aman dan halal, untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Dengan demikian menghasilkan sendiri kemampuan memperoleh peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, maka kebebasan mengatur perdagangan pangan di daerah tidak perlu dibatasi, tetapi didorong dan diarahkan agar memberi manfaat yang optimal bagi konsumen dan produsen pangan di daerah yang bersngkutan sehingga kemandirian pangan akan dapat diwujudkan.

Rekomendasi Kebijakan
Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal itu semua ada Berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.  Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti.  Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti.  Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian.  Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahtraan petani.
Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pebngadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalitasasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis.
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di pedesaan.
Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.
Di sisi lain berdasarkan pendekatan sistem pangan, strategi pencapaian ketahanan pangan  juga dapat ditempuh melalui berbagai kebijakan di setiap subsistemnya, di antaranya sebagai berikut:

Subsistem konsumsi pangan
Di subsistem konsumsi (masyarakat konsumen) pangan, kebijakan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat ditempuh dengan strategi penciptaan lapang kerja baru dan, khususnya oleh pemerintahan yang sekarang,  pelaksanaan program subsidi langsung tunai (SLT) bagi rakyat yang miskin; kebijakan diversifikasi pangan dan perbaikan kebiasaan makan ditempuh melalui strategi pencarian komoditi pangan alternatif; kebijakan perbaikan/promosi kesehatan.ditempuh dengan strategi perbaikan gizi; kebijakan mutu pangan ditempuh melalui strategi penyelenggaraan sistem jaminan mutu pangan. Khusus mengenai strategi penciptaan lapangan kerja baru, kebijakan pemerintah dalam  peningkatan keterampilan masyarakat untuk masuk di pasar kerja ditempuh dengan strategi pembangunan diklat. Namun, kebijakan makro ekonomi perlu mendukung hal ini, misalnya berupa kemudahan akses permodalan yang terbuka bagi para usahawan baru terhadap dana kredit dari bank. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa kebijakan Bank Indonesia untuk mencapai hal ini tidak selalu bersesuaian dengan kebijakan bank-bank umum di aspek yang sama. Dalam konteks penyediaan lapangan kerja, pemerintah kita juga memberikan kesempatan kepada kalangan generasi mudanya untuk bekerja di luar negeri.

Subsistem produksi pangan
Di subsistem produksi pangan stratum on farm, kebijakan intensifikasi pertanian yang diutamakan untuk produksi padi masih perlu dipertahankan karena status padi sebagai komoditi yang berimplikasi politis, yakni melalui strategi teknologi,  ekonomi, rekayasa  sosial,   dan nilai tambah yang diterapkan dalam praktek produksi. Kebijakan ekstensifikasi pertanian ditempuh melalui strategi penetapan wilayah pengembangan dan pewilayahan pertanian. Dengan strategi ini dilakukan pembangunan lahan-lahan pertanian baru untuk produksi pangan, baik berupa  lahan kering maupun lahan basah (sawah) yang dikaitkan dengan kegiatan transmigrasi. Dalam subsektor hortikultura, ditempuh strategi pembangunan, pemantapan, dan pengembangan  sentra produksi buah-buahan unggulan yang dikaitkan dengan pembangunan kebun induknya. Kebijakan rehabilitasi pertanian ditempuh  sejalan dengan strategi  penetapan komoditi prioritas, yakni rehabilitasi jaringan irigasi sebagai bagian dari strategi peningkatan produksi padi; rehabilitasi kebun bibit sebagai bagian dari strategi pengembangan buah-buahan prospektif. Kebijakan diversifikasi pertanian dilaksanakan melalui strategi diversifikasi horizontal dengan rekayasa sistem pertanian terpadu yang melibatkan usaha tani tanaman, ternak, dan atau ikan secara komplementer dan sinergis, sesuai dengan kondisi agroklimat lahannya.
Dalam stratum off-farm, kebijakan di subsistem produksi ditempuh melalui strategi pengembangan industri pertanian (agroindustri), khususnya  teknologi pengolahan pangan yang dapat menghasilkan beragam produk yang dapat mendorong konsumen melaksanakan diversifikasi konsumsi pangan dan berdaya saing kuat di pasar global. Pengembangan industri pengolahan pangan tersebut juga akan menciptakan diversifikasi pertanian secara vertikal yang mampu memberikan nilai tambah bagi komoditi pertanian yang diusahakan.

Subsistem peredaran pangan
Di subsistem peredaran (pengadaan dan distribusi) pangan,  kebijakan pengelolaan cadangan pangan dan stabilisasi harga pangan dijalankan   khususnya untuk komoditi beras. Untuk komoditi ini, kebijakan pengelolaan cadangan pangan ditempuh dengan penerapan strategi pengendalian ekspor dan impor dan penetapan lama persediaan beras cadangan yang aman untuk ketahanan pangan. Kebijakan stabilisasi harga beras ditempuh, jika perlu, dengan strategi penetapan harga dasar gabah dan harga tertinggi dan intervensi pasar beras dengan mempertimbangkan harga beras di pasaran internasional. Kebijakan pengembangan pasar komoditi ditempuh dengan melaksanakan strategi penciptaan iklim usaha agribisnis yang kompetitif, dengan pengaturan tata niaganya yang tidak menghambat mekanisme pasar sempurna. Dalam konteks pencapaian mekanisme pasar sempurna, perlu pertimbangan yang memadai agar strategi untuk stabilisasi harga beras tidak mengganggu pengaturan tata niaganya tersebut.

Kesimpulan
Sistem pangan nasional harus dibangun menuju ketahanan pangan nasional yang berbasis pada penyediaan pangan di tingkat individu. Paradigma baru dalam pembangunan sistem pangan nasional ini  akan menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, lokal, regional, dan nasional. Meskipun demikian, mengingat demikian kompleks permasalahan yang tercakup, ketahanan pangan di kelima jenjang itu hendaknya dibangun secara bersamaan.
Ketahanan pangan nasional bermakna pengadaan pangan nasional (yakni penyediaan pangan secara nasional), dan distribusi pangan nasional (yakni penyediaan pangan di setiap  individu).  Kedua makna ini menuntut adanya kebijakan pangan secara nasional yang dipegang wewenangnya oleh pemerintah pusat (yang berfungsi steering) dan kebijakan pangan secara regional, lokal, rumah tangga, dan individu yang dipegang wewenangnya oleh pemerintah daerah otonom (kabupaten/kota, yang berfungsi rowing).
Fungsi steering oleh pemerintah pusat berupa arah pembangunan ketahanan pangan sebagai komponen yang penting bagi kesejahteraan dan keutuhan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, kelak diperlukan adanya evaluasi, apakah lembaga atau lembaga-lembaga tinggi negara yang kini ada telah cukup berhasil dengan efisien memantapkan ketahanan pangan, sebagaimana yang diharapkan, misalnya, oleh salah satu peran sektor pertaniannya dalam rangka revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Fungsi rowing oleh pemerintah daerah otonom berupa keberlanjutan koordinasi antarlembaga terkait yang mendukung ketercapaian ketahanan pangan bagi setiap individu bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah otonom tersebut. Dalam konteks ini, perlu dievaluasi pula, seberapa besar kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong dan memfasilitasi sektor swasta untuk berperan dalam pembangunan ketahanan pangan bagi sesama bangsanya.

Aprilia RSV4 R Harga Dan Spesifikasi

Aprilia RSV4 R Masuk Indonesia Februari 2011



Foto Aprilia RSV4 R Terbaru
PT Sentra Kreasi Niaga (SKN) selaku jaringan penjualan Aprilia di Indonesia akan memasarkan Aprilia RSV4 R Februari 2011 nanti.

Spesifikasi Aprilia RSV4 R

Aprilia RSV4 R menyandang mesin empat silinder berkapasitas 999.6 cc dengan keluaran tenaga mencapai 180 hp pada 12.500 rpm. Sementara torsi puncaknya bisa menembus 85 lb-ft di 10.000 rpm.

Perbedaan RSV4 R dan RSV4 Factory

RSV4 R dan RSV4 Factory ternyata memiliki sejumlah perbedaan terutama di bagian suspensi. Bila di RSV4 Factory telah mengusung suspensi dari Ohlin, versi RSV4R hanya akan mengusung Showa. Kemudan beberapa bagian bodi RSV4 Factory juga sudah menggunakan bahan serat karbon yang tidak dimiliki RSV4 R.

Harga Aprilia RSV4 R

Untuk yang penasaran ingin segera memboyong superbike Italia ini, maka harus siapkan kocek Rp400 jutaan. Mau?

Jumat, 17 Juni 2011

5 Negara Termiskin Di Dunia

5 Negara Termiskin Di Dunia - Negara Termiskin di dunia terbanyak terjadi di Benua Afrika, kemiskinan rupanya masih menjadi persoalan besar di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia Selatan dan Afrika. Itu terungkap dari publikasi majalah bisnis terkemuka AS, Global Finance yang merilis data terbaru daftar negara kaya dan miskin di dunia.

Majalah ini menampilkan 182 negara di seluruh dunia dari yang paling kaya hingga paling miskin. Jika negara paling kaya dipegang oleh Qatar, sedangkan posisi Negara termiskin dipegang oleh Republik Kongo. Kawasan paling miskin di dunia terbanyak terjadi di Benua Afrika, benua yang kerap mengalami bencana kelaparan, serta sering menghadapi konflik berkepanjangan, baik berupa pemberontakan dan perang saudara.

Sebuah studi dari World Institute di United Nations University melaporkan timpangnya kondisi Afrika dibandingkan belahan bumi lainnya. Sebanyak 1 persen orang terkaya dunia menguasai 40 persen aset global, bahkan 10 persen orang terkaya dunia menguasai 85 persen aset dunia.

Sebaliknya, Bank Dunia mencatat pada 2008 sebanyak 1,4 miliar orang hidup dengan 1,25 dolar AS per hari. Itu mencakup hampir 15 persen dari populasi dunia atau hampir 1 miliar orang. Meski begitu, sejak 2001 sebanyak 192 negara anggota PBB mulai mengikuti program Millennium Development Goal dengan tujuan memberantas kemiskinan ekstrem dan kelaparan.

Metode yang digunakan untuk menentukan kekayaan negara adalah membandingkan standar hidup penduduk satu negara secara keseluruh dengan menggunakan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang didasarkan pada paritas atau keseimbangan daya beli secara internasional.

Ini mengukur standar hidup antar negara dengan menggunakan indikator biaya hidup relatif, inflasi, serta nilai tukar suatu negara yang dikonversi ke mata uang bersama (dolar internasional atau dolar AS).

Dan berikut ini merupakan Daftar 5 Negara Termiskin di dunia:

1. Republik Kongo
Menempati posisi nomor satu paling miskin di dunia, produk domestik bruto (PDB) per kapita penduduk Kongo sebesar 342 dolar AS atau Rp 3 juta per tahun. Tingkat PDB Kongo sebesar 10,7 miliar dolar AS pada 2008 dengan mengandalkan perekonomian pada sektor pertanian, seperti kopi produk kayu, serta sumber alam seperti permata, emas dan minyak.

Terletak di Benua Afrika, Kongo memiliki wilayah 342 ribu kilometer persegi dengan jumlah penduduk hanya 3,7 juta jiwa. Jumlah penduduk hidup dalam kemiskinan sebanyak 74 persen dengan usia harapan hidup 55 tahun.

2. Zimbabwe
Zimbabwe merupakan negara paling miskin kedua di dunia. Tingkat PDB per kapita penduduk Zimbabwe sebesar 365 dolar AS atau Rp 3,28 juta per tahun. Perekonomian negara di Benua Afrika ini mengandalkan pertanian seperti kapas, tembakau dan pertambangan seperti emas dan platinum, serta industri tekstil.

Perekonomian Zimbabwe juga sering kacau balau. Bayangkan, Zimbabwe merupakan satu negara dengan catatan rekor inflasi tertinggi di dunia, bahkan pernah mencapai 11,2 juta persen pada Agustus 2008. Zimbabwe juga dikenal sebagai negara yang pernah mengeluarkan pecahan mata uang terbesar di dunia, yakni 100 miliar dolar Zimbabwe.

3. Burundi
Burundi menempati urutan ketiga sebagai negara paling miskin di dunia yang berlokasi di Afrika. PDB per kapita warga Burundi sebesar 410 dolar AS atau Rp 3,69 juta per tahun. PDB negara ini hanya 1,1 miliar dolar AS pada 2008 dengan cadangan devisa cuma 322 juta dolar AS.

Dengan total luas 27 ribu kilometer persegi, jumlah populasi Burundi mencapai 8,1 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 93,4 persen penduduk hidup dalam kondisi miskin. Usia harapan hidup hanya 49 tahun.

4. Liberia
Liberia menempati posisi keempat sebagai negara termiskin di dunia dengan PDB per kapita sebesar 434 dolar AS atau Rp 3,9 juta per tahun. Total PDB negara ini sebesar 870 juta dolar AS dan mengandalkan sebagian besar pendapatan pada sektor pertanian, seperti karet, kopi dan coklat. Meski luasnya 111 ribu kilometer persegi di Benua Afrika, jumlah penduduk Liberia cuma 4,13 juta jiwa. Sebagian besar atau 94,8 persen juga hidup dalam kemiskinan.

5. Eritria
Eritria merupakan negara paling miskin kelima di dunia. Tingkat PDB per kapita sebesar 676 dolar AS atau Rp 6 juta per tahun. Perekonomian Eritria mengandalkan pada sektor pertanian, seperti tembakau, kapas, sorgum dan ternak, serta sektor industri seperti tekstil, semen dan pangan. Total PDB Eritria sebesar 1,6 miliar dolar AS pada 2008. Luas wilayah Eritria sebesar 117 kilometer persegi dengan jumlah penduduk hanya 4,9 juta jiwa.


http://www.anehnie.com/2010/10/5-negara-termiskin-di-dunia.html